Malam itu Alun-Alun Utara begitu semarak. Tak terhitung jumlah kendaraan yang lalu-lalang. Di pinggir lapangan terbuka tampak banyak keluarga memilih menghabiskan malam di salah satu tempat wisata kota Jogja. Begitu pula muda-mudi kota Gudeg yang tak ingin ketinggalan merayakan ‘malam kemenangan’ setelah berjuang melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan. Beragam aktivitas mereka lakukan, dari sekedar lesehan sembari menikmati hangatnya sekoteng, hingga bermain kembang api. Namun sesungguhnya yang mereka tunggu adalah pawai takbiran dari berbagai mesjid di sekitar Alun-Alun Lor. Perayaan ini seakan menjadi ‘menu’ wajib bagi warga Jogja tiap tahunnya.
Setelah beberapa jam menanti, pawai tak kunjung lewat. Setelah bertanya kepada seorang polisi yang mengatur lalu lintas di depan Masjid Gedhe, diketahui bahwa tahun ini pawai takbiran dipindahkan ke Kota Gede. Di sana juga dilakukan semacam perlombaan untuk memilih rombongan mesjid yang paling aktraktif menyajikan kirab takbiran. Mendengar pengumuman ini, beberapa muka pengunjung terlihat berubah masam. Mereka pastinya kecewa dan memilih untuk pulang. Tapi, tidak sedikit yang memilih tetap melanjutkan malam di sana. Kembang api kembali dibakar dan mengeluarkan suara menggelegar sebelum meroket ke udara.
Di tengah hiruk-pikuk keriaan malam takbiran, beberapa pria separuh baya terlihat disibuk dengan pekerjaan mereka. Perkakas seperti palu, tali dan paku selalu ada di kantong mereka. Mayoritas dari mereka, yang kemungkinan sudah bercucu, mengenakan sarung dan kaos berkerah. Sebuah pemandangan yang aneh melihat pria-pria ini tidak membaur dengan sesamanya merayakan malam kemenangan. Rasa ingin tahu ini kemudian terjawab ketika salah satu dari mereka, seorang bapak dengan potongan rambut cepak berkata, ”kami lebih baik menyiapkan perlengkapan untuk Shalat Id besok”.
Penjelasan itu semakin mengundang pertanyaan-pertanyaan lainnya. Mengapa mereka, yang sudah berumur lanjut ini, yang mempersiapkan acara esok harinya? Ke manakah gerangan para muda-mudi itu? Bapak itu kembali memberi saya jawaban, ”mereka sedang merayakan kemenangan mereka”.
Kalimat terakhir tadi memberikan satu pemahaman bagi saya. Orang muda terlalu larut dalam kemenangan semu yang bernilai individualistik. Mereka hanya berteriak menyatakan kejayaan. Cukup sampai di situ saja. Berbeda dengan pria-pria tangguh ini. Merayakan kemenangan bukan berarti menjadi superior. Anugerah Tuhan Yang Maha Esa itu justru menuntut mereka untuk merendahkan diri, tidak jumawa dan justru menjadi pelayan bagi sesama mereka.
Sudahkah kumpulan pria tadi memilih jalan yang ‘benar’? Jawaban itu kini hanya bisa dijawab oleh kita sendiri. Apakah makna ‘benar’ bagi kita? Bertahta atau menjadi abdi?
Abraham-Hardjosuwarno







wedyan....apik2...hehe
ReplyDeletebeginilah bila seorang suhu bertindak.
ReplyDeletetrims atas pencerahannya guru..
jos..klo guru berkenan..blognya saya follow ya..
wah,guru saya jadi tidak enak.
ReplyDeletenanti blognya guru juga saya follow deh
hehehe